Membaca Eka Kurniawan

Published by

on

Dari 15 Maret 2015; Seperti Menonton Film Hollywood

Saya tahu novel ini dari seorang teman yang sedang membacanya. Saya langsung tertarik pada desain sampul, terutama judul yang digunakan pengarang. Cukup provokatif menurut saya, bagian desain sampul maupun judulnya.

Sering kali novel-novel Indonesia hanya bicara persoalan cinta, meski dibalut beberapa persoalan yang penting menurut pengarang. Novel ini juga bicara cinta, namun sebagai pelengkap saja. Yang utama adalah fragmentasi masyarakat yang selama ini tak tersentuh, diabaikan, bahkan oleh dunia sastra. Persoalan anak bandel dan pelambang kehidupan jadi begitu menarik karena gaya bercerita Eka Kurniawan. Dengan tema yang sederhana, Eka bisa menjadikannya sangat menarik. Eka memotret dan menyajikannya dengan baik.

Entahlah. Ini sebuah fenomena atau hanya kebetulan semata, namun tema perkelahian, silat, tawuran, atau semacamnya rupanya sedang mendemam di pencinta sastra atau seni Indonesia. Latar tokoh (Sunda) dan kedudukannya (peran tokoh dalam cerita) seperti sebuah sinetron yang diputar oleh salah satu stasiun televisi, Preman Pensiun? Ini tentu menarik, sebab sinetron itu juga saya anggap berbeda dari sinetron lain di televisi. Berbeda bukan karena ada sejumlah tokoh dunia seni pertunjukan (yang cukup kawakan) terlibat di dalamnya, namun dari segi penggarapan cukup memberikan penyegaran di dunia sinetron Indonesia. Seperti Dendam

Kembali kepada novel Eka, dalam hal narasi Eka menyampaikan ceritanya seperti seorang yang sedang ngobrol dengan seorang lainnya di warung kopi. Santai dan hangat. Yang juga menarik, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas disampaikan Eka secara lompat-lompat. Entah telah terjadi berapa kali flashback dan foreshadowing dalam novel ini. Sehingga, saya seperti sedang menonton film Hollywood. Peralihan tiap peristiwa dilakukan seperti pergantian kamera dalam sebuah film. Tentu terkadang memusingkan juga.

Peristiwa balapan truk di Jalur Pantura yang disajikan dalam bab tersendiri sepanjang 29 halaman menjadi bagian paling menarik buat saya. Peristiwa ini mengingatkan saya ketika sedang mudik Lebaran atau liburan lainnya lewat Pantura. Cara mengungkapkannya juga sederhana, tidak muluk dipenuhi bahasa-bahasa yang rumit. Meski begitu, dalam novel ini saya mencatat penggunaan kata ‘demi’ dan ‘ajak’ yang asing bagi saya. Saya paham makna bahasanya kemudian, tak menyalahkan penggunaan kata-kata itu.

Mengulas tentu saja bukan sekadar memuji. Seperti pisau yang bisa memiliki dua mata, penggunaan nama dalam novel ini juga bisa memotong ke dua arah. Satu arah, ia menggambarkan dengan sangat baik karakter-karakter tokoh tersebut. Namun, hal itu juga menjadikannya tak menarik karena keburu ketahuan sifat karakternya. Seperti nama tokoh Budi Baik atau Paman Gembul, berasosiasi dengan sifat baik dan jahat.

Dari hal lain saya juga mungkin Anda yang sudah membaca dapat menangkap bahwa sesungguhnya persoalan novel ini sangat simbolis, namun “dipaksa-paksanya” masuk dalam dunia keseharian yang sederhana. Alegori impotensi kelamin sebagai petunjuk menuju “jalan sunyi” para mahaguru misalnya. Saya sendiri kesulitan untuk mengartikan simbol-simbol itu. Seperti judul yang digunakan Eka, akankah dibayar tuntas semua harapan pembaca mengenai novel ini? Selamat buat Eka dan karya barunya.

Leave a comment